SALMAN ALFARISI MENJAMINKAN DIRINYA
. “Dan orang orang yang memelihara amanat amanat (yang dipikulnya) dan
janjinya”. (Q.S. Al Mukminun (23) : 8) .
Diantara bentuk persaudaraan
Muslim adalah menanamkan rasa kepercayaan berdasar amanah dan kejujuran. Kenyataan ini
terbukti pada kisah yang terjadi saat Umar bin Khaththab menjabat sebagai
kholifah.
Saat Umar bin
Khaththab sedang duduk di bawah sebatang kurma, bersama para sahabat diantaranya
Abdullah bin ‘Abbas, Salman Al Farisi juga Abu Dzar Al Ghifari. Pembicaraan
segera terhenti karena dua pemuda berwajah mirip datang dengan mengapit pemuda
yang terikat lengannya.
MENGHADAP KHOLIFAH
Karena
kesederhanaan kholifah sebagai pimpinan yang tidak terlalu protokoler, maka dengan mudahnya
keduanya menghadap dan melapor tentang masalah yang dihadapinya
sambil berkata : “Wahai Amirul Mukminin, tegakkan hukum Allah atas pembunuh
ayah kami ini !", Ujar salah seorang dari
mereka. Umar bangkit : "Takutlah kalian
kepada Allah !”, ujar Umar : “Perkara apakah ini ?". Kemudian dua pemuda menjelaskan bahwa pemuda yang mereka bawa adalah pembunuh ayahnya, bahkan dia siap mendatangkan saksi yang menyatakan bahwa si pelaku telah mengaku.
MENGAKU
Umar bertanya kepada tertuduh : "Benarkah
apa yang mereka dakwakan kepadamu ?", "Benar wahai
Amirul Mukminin !". "Engkau tidak
menyangkal dan di wajahmu kulihat ada penyesalan”, Umar menyelidik
dengan teliti “. “Ceritakan kejadiannya !", pinta Umar bin
Khaththab.
BERKISAH JUJUR
"Aku datang dari
negeri jauh ”, kata pemuda . “Sesampai di kota ini,
aku tambatkan kudaku di sebuah pohon dekat kebun milik keluarga mereka. Ku
tingggalkan sejenak untuk mengurus suatu hajat, tanpa kuketahui kudaku makan
tanaman yang ada di kebun mereka, saat aku kembali, kulihat seorang lelaki tua
yang ternyata ayah kedua pemuda ini sedang memukul
kepala kudaku dengan batu hingga tewas. Melihat kejadian itu, aku emosi
kemudian kuhunus pedang. Aku khilaf, aku telah membunuh lelaki tua itu. Aku
memohon ampun kepada Allah karenanya”. Umar termenung. “Wahai
Amirul Mukminin tegakkanlah hukum Allah, kami minta
qishash atas orang ini, jiwa harus dibayar dengan jiwa !", kata salah
seorang.
Umar menatap pemuda tertuduh usianya masih sangat muda, pantas bila mudah emosi. Tapi jelas pad wajahnya teduh, akhlaknya santun. Gurat gurat sesal nampak jelas
membayang di wajahnya. Umar iba menimbang nimbang
betapa sia sianya jika
pemuda ini harus mati begitu cepat.
UMAR USUL
"Bersediakah
kalian, jika aku membayar diyat (tebusan) untuknya, agar dia bisa
bebas ?”, pinta Umar pada kedua pemuda penuntut qishas. Pemuda menjawab : ” Demi Allah, hai
Amirul Mukminin sungguh kami sangat mencintai ayah kami, dia telah membesarkan
kami dengan penuh cinta. Keberadaannya di tengah kami
takkan bisa terganti dengan diyat
sebesar apapun. Hati kami baru tenteram jika had ditegakkan !", jawabnya tegas. Umar terhenyak : "Bagaimana
menurutmu ?”, tanya Umar kepada pemuda terdakwa. “Aku ridha hukum Allah
ditegakkan ke padaku, wahai Amirul
Mukminin”, jawabnya yakin.
MINTA IZIN
PULANG
“Namun ada yang
menghalangiku, karena ada amanah dari kaumku tentang harta
dan
perkara yang harus kusampaikan kepadanya. Juga keluargaku, aku bekerja untuk
menafkahi mereka. Hasil dari perjalananku harus
kuserahkan dan juga memohon ridla dan ampunan ayah dan
ibuku".
JANJI KEMBALI
Umar merenung iba, tak ada jalan lain, hudud harus ditegakkan, tetapi dia juga
memiliki amanah yang harus ditunaikan. “Jadi bagaimana ?”, tanya Umar. “Jika engkau
mengizinkanku aku minta waktu 3 hari untuk pulang guna menunaikan
amanah. Demi Allah aku pasti kembali di hari ketiga untuk menerima hukumanku, wahai putera Al Khattab".
KHOLIFAH MINTA JAMINAN
"Adakah orang yang bisa menjaminmu
?”, tanya Umar, “Aku tidak punya kenalan di kota ini guna kuminta menjadi
penjaminku, kecuali Allah yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat". "Tidak Demi
Allah, tetap harus ada seseorang yang menjaminmu atau aku
tak mengizinkanmu pergi !", jawab Umar bin Khaththab tegas. "Aku
bersumpah dengan nama Allah yang keras 'Adzabnya. Aku takkan
menyalahi janjiku !", "Aku percaya, tetapi tetap harus ada orang yang
menjaminmu !". "Aku tak punya !”.
SALMAN ALFARISI TAMPIL
“Wahai Amirul Mukminin !”, terdengar suara menyela : “Jadikan aku sebagai penjamin anak muda
ini, biarkanlah dia pergi menunaikan amanahnya !". Salman Al
Farisi tampil mengajukan diri. "Engkau hai Salman, bersedia
menjamin anak muda ini ?", "Ya aku bersedia !", "Kalian berdua
yang mengajukan gugatan”, panggil
Umar : “Apakah kalian
bersedia menerima Salman Al Farisi sebagai penjamin
?”. “Adapun Salman demi
Allah, aku bersaksi tentang dirinya bahwa dia lelaki ksatria yang jujur dan tak
berkhianat”. Kedua pemuda saling pandang : “Kami menerima”, jawabnya.
TEGANG MENANTI SAAT.
Para sahabat berkumpul mendatangi Umar dan Salman. Demi Allah mereka
keberatan jika Salman harus dibunuh sebagai badal (ganti). Mereka tak ingin
kehilangan sahabat yang pengorbanannya bagi Islam begitu besar. Salman seorang sahabat yang tulus dan
rendah hati, dihormati dan dicintai.
Satu demi satu mulai Abu Darda’ dan beberapa sahabat mengajukan diri
sebagai pengganti Salman. Tetapi Salman menolak. Umar juga menggeleng, waktu terus
bergerak mendekati saat yang ditentukan. Kekhawatiran
Umar makin memuncak, sahabat makin tegang dan sedih, waktupun terus berlalu.
DATANG TEPAT WAKTU
Hanya beberapa saat menjelang habisnya batas waktu, nampak
seseorang datang dengan berlari bertatih dan terseok. Dia pemuda terhukum
sambil berkata : “Maafkan aku”, ujarnya
memelas, “Urusan kaumku itu ternyata rumit, sementara untaku tak sempat
istirahat, dia kelelahan nyaris sekarat dan terpaksa
kutinggal di tengah jalan. Aku harus berlari agar cepat sampai ke mari hingga
nyaris terlambat". Semua yang melihat nya pada menatap iba, tak rela jika dia harus berakhir hidupnya pada hari itu.
UMAR TAKJUB
"Pemuda yang jujur”, ujar Umar
dengan mata berkaca kaca, “Mengapa kau datang kembali padahal bagimu ada
kesempatan untuk lari dan tak harus mati menanggung qishash ?". Pemuda menjawab
dengan tenangnya : ”Sungguh jangan sampai ada orang
mengatakan tidak
ada lagi orang yang menepat janji. Dan jangan sampai ada yang mengatakan, bahwa tidak
ada lagi kejujuran di kalangan kaum Muslimin“.
KEPERCAYAAN DAN PERSAUDARAAN
"Dan kau Salman”, kata Umar
bergetar : “Untuk apa kau susah susah menjadikan dirimu penanggung kesalahan
orang yang tak kau kenal sama sekali, bagaimana kau bisa mempercayainya ?".
”Sungguh jangan sampai orang mengatakan bahwa tidak ada lagi orang yang mau saling berbagi
beban dengan saudaranya. Atau jangan sampai ada yang merasa bahwa tidak
ada lagi rasa saling percaya di antara orang orang Muslim“. Jawab Salman dengan tulus dan
mantap.
BERKAT KOKOHNYA IMAN
"Allaahu Akbar !”, seru Umar : “Segala puji bagi
Allah. Kalian telah membesarkan hati umat ini dengan kemuliaan sikap dan
agungnya iman kalian. Tetapi bagaimanapun wahai pemuda, had untukmu harus kami
tegakkan !". Pemuda terdakwa mengangguk pasrah.
MEMAAFKAN
Tiba tiba ……terdengar suara para penggugat : ”Kami sepakat memutuskan untuk memaafkannya !“, sambil tersedu sedan penuh haru. “Kami melihatnya sebagai orang yang
berbudi dan menepati janji. Demi
Allah, pasti benar benar sebuah
kekhilafan yang tak disengaja, jika dia sampai
membunuh ayah kami. Dia telah menyesal dan beristighfar
kepada Allah atas dosanya. Kami memaafkannya, janganlah menghukumnya wahai
Amirul Mukminin !”. “Alhamdulillah !”, ujar Umar. Pemuda terhukum sujud syukur, diikuti Salman Al farisi,
dan semua hadirin.
IBA DAN KASIH SAYANG
“Mengapa kalian tiba
tiba berubah fikiran ?”, tanya Umar pada kedua ahli waris korban. “Agar jangan sampai ada yang mengatakan bahwa
di kalangan kaum Muslimin tidak
ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati dan kasih sayang", jawab mereka kompak penuh haru. Subhaanallaah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar