Sabtu, 17 November 2018




BETAPA BERAT JANJI DAN AMANAT !!!
          
“Dan orang orang yang memelihara amanat amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”. (Q.S. Al Mukminun (23) : 8)

Begitu sempurna tuntunan agama sehingga tidak hianya mengatur urusan hamba dan Tuhannya saja namun diatur pula urusan dengan manusia.  
Diantara urusan yang berkaitan dengan kemanusiaan adalah mengenai janji dan amanat. Begitu tingginya penghargaan Allah bagi yang bisa memeliharanya (menunaikannya) sehingga kelak mewarisi syurga Firdaus.
“Dan orang orang yang memelihara amanat amanat dan janjinya. Dan orang orang yang memelihara sholatnya. Mereka Itulah orang orang yang akan mewarisi. (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus mereka kekal di dalamnya”. (Q.S. Al Mukminun (23) : 8-11)

BERATNYA JANJI DAN AMANAT
Amanah dan janji hal yang cukup berat, sampai Nabi s.a.w. bersabda : “Ciri orang munafik ada tiga, bila berkata dusta, bila berjanji ingkar, bila diamanati berkhianat”. (H.R. Muslim).
Begitu beratnya janji dan amanat sampai digolongkan munafik bagi yang mengingkarinya !. Bukankah begitu fatal akibat bila mengingkari janji dan amanah
Karena begitu beratnya soal amanat sampai Umair bin Sa’ad yang menjadi gubernur rela mengorbankan dirinya hidup dalam kesederhanaan dan kekurangan, demi mengutamakan kepentingan rakyatnya.

DIANGKAT GUBERNUR HIMSA
Khalifah Umar bin Khaththab mengutus Umair bin Sa’ad untuk menjadi gubernur Himsha, namun setelah menunaikan tugas selama satu tahun, Umar tidak pernah mendapat laporan dari Umair bin Sa’ad sedikit pun.

DIPANGGIL KARENA CURIGA    
Kemudian Umar meminta kepada sekretarisnya : “Tulislah surat untuk Umair, demi Allah dia telah menghianati kita !“.Surat tersebut berbunyi : “Jika engkau telah menerima suratku, maka segeralah menghadap membawa pajak kaum Muslimin, langsung setelah engkau melihat surat ini !”. 

BERANGKAT TANPA PENGAWAL
Demi melaksanakan amanat, setelah Umair bin sa’ad menerima surat dia
segera berangkat memanggul perlengkapan seadanya dengan berjalan kaki dari Himsha ke Madinah. Seorang perawi berkata : “Jarak antara Himsha dan Madinah adalah beberapa mil“.

SANGAT SEDERHANA
Bayangkan betapa sangat sederhananya keadaan Umair Bin Sa’ad, walau sebagai gubernur berangkat memenuhi panggilan khalifah Umar Bin Khaththab hanya berjalan kaki, tanpa kendaraan, tanpa pengawalan (sangat beda dengan keadaan gubernur pada umumnya).

DEMI AMANAT
Kesederhanaan yang dilakukan gubernur Umair semata mata demi menjaga amanat yang diembannya. Dengan kesederhanaan ini dia berharap mempunyai hikmah : 1. Menghemat anggaran Negara. 2. Tidak merepotkan rakyat (jalan tidak perlu ditutup). 3. Memberi tauladan kesederhaan bukan kemewahan !.      

MENGHADAP KHALIFAH
Ketika sampai di Madinah wajahnya pucat lesi dan lusuh, kemudian langsung menghadap Khalifah. Umar bertanya : “ Bagaimana khabarmu ? “. Umair Bin Sa’ad menjawab : “Sebagaimana yang anda lihat, bukankah badanku sehat, darahku suci, aku membawa kebaikan isi dunia“.
Khalifah Umar bertanya : “Apa yang kau bawa ?“. Umair Bin Sa’ad menjawab : “Aku membawa kantung kulit, tas tempat bekal perjalananku, mangkuk besar untuk makan dan tempat air ketika mandi atau mencuci pakaian, ember tempat membawa air wudlu dan air minumku dan tongkat yang kupergunakan bersandar atau melawan musuh, demi Allah sesungguhnya tiada barang dunia kecuali yang aku bawa bersama bawaanku“.

JALAN KAKI
Khalifah Umar bertanya : “Kamu datang kemari berjalan kaki ?“. Umair menjawab : “Betul“, Khalifah Umar Bin Khaththab bertanya : “Apakah tidak ada orang yang memberi kendaraan kepadamu untuk engkau tunggangi ?. Umair Bin Sa’ad menjawab : “Mereka tidak memberi karena aku tidak memintanya“. Umar berkata : “Mereka adalah seburuk buruk orang Islam“. Umair berkata : “Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah melarangmu menggunjing, padahal aku melihat mereka senantiasa melaksanakan sholat shubuh“.

MINTA LAPORAN
Khalifah Umar berkata : “Kemudian mana laporanmu dan apa yang telah engkau lakukan ?“. Umair menjawab : “Apa maksud pertanyaanmu wahai Amirul Mukminin ?“. Khalifah Umar mengucapkan : “Subhaanallah“. Umair menjawab : “Jika aku tdak hawatir membuatmu sedih, aku tidak akan melaporkan kepadamu. Engkau mengutusku ke suatu wilayah, kemudian aku mengumpulkan orang orang sholih dan memungut pajak dari mereka, jika  telah terkumpul, aku bagikan kepada yang berhak. Kalau engkau berhak menerima bagiannya (hasil pajak dll) pasti aku akan membawakan untukmu“.

MENOLAK JABATAN
Khalifah Umar berkata : “Kemudian engkau datang tidak membawa sesuatu ?“. Umair menjawab : “Tidak !“. Umar berkata : “Perpanjang masa tugas Umair ! “.    
Umair menjawab : “Sesungguhnya tugas ini tidak saya terima. Demi Allah dengan jabatan tersebut aku tidak selamat. Telah aku sampaikan kepada staffku Allah merendahkan martabatmu wahai Umair, dengan jabatan itu apakah engkau tawarkan lagi jabatan kepadaku wahai Umar ?, sesungguhnya hariku yang paling tidak menguntungkan adalah saat aku menjadi wakilmu“.
Kemudian Umair mohon izin pulang. Ketika Umair pulang, Khalifah Umar berkata : “Sepertinya Umair menghianati kami !“.

MENYELIDIKI
Kemudian Khalifah Umar mengutus seorang ajudan Al Harits, dibekali uang 100 dinar, Umar berpesan : ”Pergilah ke Umair, usahakan menginap di rumahnya, apabila engkau melihat bukti bukti kekayaan, kembalilah namun jika kondisinya memprihatinkan berika uang 100 dinar kepadanya !“.

MENAMBAL JUBAHNYA
Setiba di kediaman gubernur Umair Bin Sa’ad, dia melihat Umair dalam kesederhanaan, dia sedang menyulam jubahnya sendiri. Kemudian Al Harits mengucapkan salam, Umair pun mneyambutnya sambil berkata : “Mampirlah kemari semoga Allah mencurahkan kasih sayangnya kepadamu, dari mana anda datang ?“, Al Haris menjawab : “Dari Madinah“.

MENANYAKAN KEADAAN KHALIFAH
Umair Bin Sa’ad bertanya : “Bagaimana keadaan Amirul Mukminin ?“. Al Harits menjawab : “Baik baik saja“. Umair bertanya : ”Bagaimana kondisi Umat Islam ?“, Al Harits menjawab : “Mereka baik baik saja“. Umair bertanya : “Bukankah Khalifah akan menegakkan hukuman ?“, dia menjawab : “Sudah bahkan beliau memukul putranya yang melakukan pelanggaran, sampai wafat karena kerasnya pukulan“.

MEMUJI KHALIFAH UMAR
Kemudian Umair Bin Sa’ad berdo’a : “Ya Allah tolonglah Umar sesung
guhnya aku tidak mengenalnya, kecuali ia seorang yang tegas karena kecintaannya kepada Mu. Begitu kagum dan hormatnya gubernur Himsha terhadap kepemimpinan Khalifahnya Umar Bin Khaththab.
               
 KISAH TAULADAN
GUBERNUR SEDERHANA DAN MISKIN

Karena setelah setahun Umair bin Sa’ad diangkat jadi gubernur tidak ada laporan, khalifah Umar bin khaththab curiga dan mengutus Al Harits untuk menyelidikinya, sambil dibekali uang 100 dinar, tepung, makanan dan beberapa potong pakaian.
Kemudian Al Harits tinggal di rumah Umair selama tiga hari, ternyata  Umair Bin Sa’ad walau sebagai gubernur tidak memiliki bahan makanan kecuali sedikit gandum, itupun guna menjamu tamu.
Walau keadaan Umair tidak berkecukupan, namun ketika titipan Umar bin Khaththab di diberikan, justru gubernur Umair bin Sa’ad berkata : “Jika berupa makanan aku tak membutuhkan, karena di rumahku ada dua sho’ gandum, namun untuk pakaian kuperuntukkan ummu fulan“. 
Kemudian Al harits memberikan uang 100 dinar titipan khalifah sambil berkata : “Uang ini pemberian Khalifah, pergunakan menurut kebutuhanmu“. Umair berteriak sambil berkata : “Saya tidak membutuhkan uang ini, maka saya kembalikan saja !“.
Isteri Umair berkata : “Jika engkau membutuhkan ambillah, jika tidak berikan kepada yang berhak !“. Walau Umair tak berkecukupan namun dia sempat berkata : “Aku tidak mempunyai kepentingan dengan uang ini !“. Kemudian isterinya merobek jubah bawahnya dan diberikan pada Umair sebagai tempat uang, setelah Umair memasukkan uang kedalam kain, ia langsung pergi guna dibagikan ke anak anak yatim para syuhada’ perang dan fakir miskin.
Karena merasa tak mampu menjamu Al Harits dengan baik,  Umair berkata dengan penuh hormat : “Engkau tinggal disini tetapi kami tidak mampu melayani dengan baik, jika ingin pergi silahkan“.
Selanjutnya Umair berkata : “Aku kirim salam kepada Amirul mukminin“.
Sesampai Al Harits menghadap khalifah Umar, diceritakan tentang kesederhanaan dan penderitaan gubernur Umair, Umar pun terharu mendengarnya.
Akhirnya tak berapa lama kemudian, Umar bin Khaththab mendengar khabar bahwa Umair Bin Sa’ad wafat. Umar merasa terpukul dan sedih, kemudian menuju pemakaman Baqi’ul Garqad.
Begitu tinggi ahlak Umair Bin Sa’ad sebagai seorang gubernur, demi amanat yang diembannya,  sehingga dia lebih mementingkan kepentingan umat dari pada dirinya, sehingga rela hidup dalam kemiskinan dan kesederhanaan.
Semoga Allah menerima amalnya dan mengampuni dosanya, Amiin.


          






SIKAP NABI TERHADAP NON MUSLIM

         “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Q.S. Al Ahzab (33) : 21).

Suatu waktu seseorang bertanya kepada Aisyah r.a. perihal bagaimana Nabi dalam kesehariannya, ‘Aisyah menjawab : “Akhlak beliau (Nabi) adalah Al Qur’an”. Kemudian Aisyah r.a. membacakan ayat : Dan sesungguhnya kamu benar benar berbudi pekerti yang agung”. (Q.S. Al Qalam (73) : 4).

AKHLAK SEBAGAI ACUAN
Begitu tinggi dan berharganya nilai akhlak sampai Nabi bersabda Tiada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin pada hari Kiamat melebihi akhlak baik. Sesungguhnya Allah membenci perkataan keji dan jorok”. (H.R. Tirmidzi). Dengan akhlak inilah agama Islam disebarkan, bukan dengan kekasaran apalagi kekerasan.

MENGHADLIRI UNDANGAN ORANG YAHUDI
Dalam keseharian Nabi s.a.w. tidak kaku dalam bergaul, sehingga pernah memenuhi undangan makan orang yahudi. Dari Anas bin Malik r.a., seorang yahudi mengundang Nabi s.a.w. untuk bersantap roti gandum dengan acar hangat dan Nabi s.a.w. pun memenuhi undangan tersebut. (H.R. Imam Ahmad)

WUDHU DENGAN BEJANA MILIK ORANG MUSYRIK
Begitu toleransi dan menghargainya Nabi dalam keseharian, sampai beliau mau memakai bejana milik wanita musyrik. Dari ‘Imron bin Hushain r.a. beliau berkata : “Rasulullah s.a.w. bersama para sahabatnya berwudhu dengan air dari bejana wanita musyrik”. (H.R. Muttafaq ‘alaih)  

PEMBANTU NABI ANAK YAHUDI
Begitu tolerans dan santunnya Nabi dalam hal kemanusiaan, sampai beliau mempunya pembantu rumah tangga anak laki laki Yahudi. Suatu saat anak ini tidak masuk bekerja karena sakit, kemudian Nabi s.a.w berkunjung ke rumahnya. Ayah anak juga penganut Yahudi yang sedang menungguinya.   
Kemudian Rasulullah s.a.w. mendekati dan mengajaknya mengucapkan kalimat syahadat, anak itu kebingungungan karena ada sang ayah di dekatnya, akhirnya sang ayah berkata : “Anakku taati Abu Qasim (Muhammad) !”. Mendapat izin  ayahnya si anakpun bersyahadat.  

MENGHORMAT JENAZAH ORANG YAHUDI
Agama lslam tak hanya mengajarkan menghormati kaum non muslim yang hidup saja, bahkan yang telah meninggalpun dihormati pula.
Dari Ibnu Abu Laila bahwa ketika Qais bin Saad r.a. dan Sahal bin Hunaif r.a. sedang berada di Qadisiyah, tiba tiba ada iringan jenazah melewati mereka, maka keduanya berdiri. Lalu dikatakan kepada keduanya : “Jenazah itu adalah termasuk penduduk setempat (yakni orang kafir)”. Mereka berdua berkata : “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah dilewati iringan jenazah, lalu beliau berdiri. Ketika dikatakan : “Jenazah itu Yahudi, Rasulullah s.a.w. bersabda : “Bukankah ia juga manusia ?”. (H.R. Muslim).       
TIDAK MEMBALAS YANG MENDZALIMI
Adalah seorang Yahudi yang biasa meludahi Nabi bila lewat didepan rumahnya. Suatu hari beliau tidak menjumpainya, kemudian Nabi mencari tahu kemana gerangan si Yahudi. Ternyata beliau mendapat kabar bahwa si Yahudi sakit, Nabi pun menjenguknya. Betapa kaget si Yahudi, bahwa orang yang selama ini didzaliminya, justru yang pertama menjenguknya ketika sakit, karena keperdulian Nabi inilah akhirnya dia memeluk Islam.

MEMBERI PERLINDUNGAN KEPADA ORANG MUSYRIK
Begitu manusiawinya Nabi terhadap orang kafir, karena Allah memerintahkan Nabi untuk memberikan perlindungan kepada orang kafir yang meminta perlindungan kepada beliau. “Dan jika seorang diantara orang orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah. Kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. (Q.S. At Taubah (9) : 6).
Ibn Katsir menjelaskan bahwa ayat tersebut menjadi acuan Nabi dalam memperlakukan orang musyrik yang ingin mendapatkan perlindungan. Hal ini yang dilakukan serombongan kafir Quraisy yang terdiri dari ‘Urwah bin Mas’ud, Mukriz bin Hafsh, Suhail bin ‘Amr dan lain lain.
Satu persatu orang orang musyrik menghadap Nabi memaparkan permasalahannya, karena mereka tahu bahwa kaum Muslimin sangat mengagungkan Nabi.Sebuah pemandangan mengagumkan yang tidak mereka jumpai pada diri raja raja di masa itu. Mereka pulang kepada kaumnya dengan membawa berita tersebut. Peristiwa ini merupakan faktor utama masuknya sebagian besar mereka ke dalam agama Islam”..

MENJAGA PERTUMPAHAN DARAH
Umumnya pasukan yang menang menolak ketika diajak memberhentikan peperangan (perjanjian damai), karena memiliki kesempatan untuk mengalahkan musuh lalu menguasai daerahnya. Sangat beda dengan Rasulullah s.a.w. beliau tidak menjadikan perang sebagai solusi utama. Perang ditempuh sebagai alternatif terakhir untuk membela diri. Karena itu Rasulullah s.a.w. dalam peperangan tak berambisi  untuk menumpahkan darah.

TIDAK MEMBUNUH YANG TELAH BERSYAHADAT
“Kami mempertanyakan yang dilakukan Usamah bin Zaid. Ketika ia mengangkat pedangnya, orang musyrik yang akan dibunuh mengucapkan : “laa ilaaha illallah. Namun Usamah tetap membunuhnya. Kemudian peristiwa tersebut disampaikan kepada Nabi s.a.w. Kemudian Rasulullah memanggilnya dan bertanya : “Mengapa engkau lakukan itu ?”. Usamah menjawab : “Wahai Rasulullah dia telah menyakiti umat Islam dan telah membunuh fulan dan fulan, Usamah menyebut beberapa nama. Aku telah mengalahkannya, ketika ia melihat pedangku ia mengucapkan :  “laa ilaaha illalla”. Rasulullah s.a.w. bersabda : “Jadi engkau membunuhnya ?!”, “ya”, Jawab Usamah. Rasulullah s.a.w. bersabda : “Apa yang akan engkau pertanggung jawabkan dengan kalimat laa ilaaha illallah pada hari kiamat nanti ?”. Usamah berkata : “Wahai Rasulullah do’akan ampunan untukku”. Rasulullah tetap mengatakan : “Apa yang akan engkau pertanggung jawabkan dengan kalimat laa ilaaha illallah pada hari kiamat nanti ?”, beliau terus menerus mengulangi kalimat tersebut”. (H.R. Muslim)

PERDAMAIAN PERANG KHAIBAR
Ketika kaum muslimin menang, orang orang Yahudi Khaibar mengajukan perjanjian damai kepada Rasulullah s.a.w. karena sudah terkepung selama 14 hari, mereka mengutus Ibnu Abi al Huqaiq mengadakan perjanjian damai. Kemudian Rasulullah menyetujui dan mereka harus keluar dari Khaibar dan menyerahkan harta benda dan hewan kendarannya, kecuali yang melekat pada diri mereka. Padahal Yahudi Khaibar berkeinginan memerangi umat Islam sejak dua tahun sebelum terjadi Perang Khaibar. Namun Rasulullah s.a.w. tetap menerima permintaan damainya.

PERANG BANI MUSTHALIQ
Pada perang Bani Musthaliq, kemenangan di fihak kaum muslimin. 100 rumah berhasil dikuasai Rasulullah s.a.w.  tetapi beliau tidak membunuh mereka.

TIDAK ADA LARANGAN BERBUAT BAIK PADA NON MUSLIM
Dalam agama tidak ada larangan berbuat baik kepada non muslim.
Nabi s.a.w. bersabda : Bertaqwalah dimanapun kalian berada dan ikutilah keburukan dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapus keburukan tersebut. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik. (H.R. Tirmidzi)
Dalam hadits tersebut Nabi tidak mengatakan : “Pergaulilah saudara muslim”, justru Nabi s.a.w. mengatakan : “Khaliqi naas” (pergaulilah manusia).
         
KISAH TAULADAN
KA’AB BIN ZUHAIR SELAMAT KARENA MEMELUK ISLAM
Di awal perkembangan Islam di Makkah, ada dua orang bersaudara kakak beradik :  Ka’ab bin Zuhair dan Bujair bin Zuhair. Bujair telah masuk Islam lebih dahulu dan berjuang bersama Nabi dalam membela kebenaran dan ikut berhijrah ke Madinah.
Sedangkan saudaranya, Ka’ab termasuk kelompok radikal yang menolak Islam, ia bersama komplotannya dengan gencar melakukan intimidasi terhadap kaum Muslimin.
Demikian kerasnya permusuhan Ka’ab terhadap umat Islam, sehingga setelah Bujair adiknya hijrah ke Madinah, ia masih tetap mengecam umat Islam dengan surat suratnya yang dikirimkan kepada saudaranya tersebut. 
Melihat sikap Ka’ab membahayakan umat Islam, akhirnya Nabi memasukkan namanya dalam daftar hitam, golongan penghianat yang senantiasa berbuat kerusakan dan memusuhi kaum Muslimin.
Mengetahui hal itu, Bujair mengirim surat ke saudaranya tentang pencantuman namanya dalam daftar hitam.
Dalam suratnya dia menjelaskan mengenai sikap pemaaf Nabi dan akhlaknya yang luhur. Bujair juga menceritakan secara lengkap tentang kehidupan kaum Muslimin di Madinah. Mereka berada dalam ketenangan, kedamaian dan senantiasa dalam bimbingan Allah dengan perantaraan Rasul Nya.
Setelah Ka’ab menerima surat dan menelaah dengan seksama isinya, tiba tiba ada dorongan kebenaran dengan kuat yang mengetuk kalbunya. Ia segera bertobat dari kesalahan masa lalunya. Ia berniat pergi meninggalkan Makkah menuju Madinah sesegera mungkin demi menemui Nabi dan menyatakan diri bergabung dengan barisan kaum Muslimin di sana. 
Setibanya di Madinah, Ka’ab bin Zuhair segera menemui Nabi di masjid  diantar Ali bin Abi Thalib, seorang sahabat setia sekaligus menantu Nabi.  
Sampai di masjid, Ka’ab segera menyatakan diri untuk memeluk agama Islam. Nabi pun menerima kehadirannya dengan tulus, bahagia dan penuh syukur.     
Dengan memeluk islamnya Ka’ab maka dicoretnya nama Ka’ab dari daftar hitam.
Akhirnya Nabi s.a.w. dan para sahabatnya memaafkan semua kesalahan Ka’ab di masa lalu, tanpa menyisakan perasaan dendam sedikitpun di dada mereka.

Senin, 05 November 2018



ADAB ‘ULAMA DULU DALAM BERGURU

           “…..Niscaya Allah akan meninggikan orang orang yang beriman di antaramu dan orang orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al Mujadilah (58) : 11)

Begitu penting dan mulianya menuntut ilmu sampai yang berilmu diangkat derajatnya oleh Allah. Demikian tinggi penghargaan Allah terhadap yang berilmu (guru). Karena ilmu diperoleh dari para guru, maka dalam menuntut ilmu agama memberikan tuntunan diantaranya :   


1.MENGHORMATI

Sebagai murid hendaknya menghormati guru, apabila rasa hormat diabaikan bukan golongan kami kata Nabi.
Rasulullah s.a.w. bersabda : “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda, serta yang tidak mengerti hak ‘ulama”.  (H.R. Ahmad. dishahihkan Al Albani)
Demikian pula yang dilakukan para sahabat terhadap Nabi, begitu tawadhdhu’nya mereka, sampai mereka pada merunduk khusyu’ dihadapan beliau sebagai tanda hormat sebagai murid..
“Saat kami sedang duduk duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah s.a.w. kemudian duduk di hadapan kami. Maka seakan akan di atas kepala kami terdapat burung, tak satu pun dari kami yang berbicara”. (H.R. Bukhari).
Ibnu Abbas seorang sahabat yang ‘alim dan ahli tafsir Quran, pernah menuntun tali kendaraan Zaid bin Tsabit al Anshari  r.a. sambil berkata : Seperti inilah kami diperintahkan untuk memperlakukan para ‘ulama kami”.

IMAM ABU HANIFAH
Demikian pula yang dilakukan Imam Abu Hanifah, karena rasa hormatnya terhadap gurunya, sampai Imam Abu Hanifah berkata : “Jika berada di depan Imam Malik layaknya seorang anak di hadapan ayahnya”.

MURID IMAM SYAFI’I
Ar Rabi’ bin Sulaiman murid Imam Syafii berkata : “Demi Allah aku tidak berani meminum air dalam keadaan Imam Syafi’i melihatku karena segan kepadanya”.

IMAM SYAFI’I
Imam Syafi’i berkata : “Dulu aku membolak balikkan kertas  di depan  Imam Malik dengan lembut karena segan padanya agar beliau tidak mendengarnya”.

ABU ‘UBAID AL QASIM BIN SALAM
Abu ‘Ubaid Al Qosim bin Salam berkata : “Aku tidak pernah sekalipun mengetuk pintu rumah seorang dari guruku, karena Allah berfirman : Kalau sekiranya mereka sabar sampai kamu keluar menemui mereka, itu lebih baik untuknya”. (Q.S. Al Hujurat (49) : 5).

2. RENDAH HATI
Diriwayatkan oleh Al Imam Baihaqi, Umar bin Khattab berkata : “ Tawadhdhu’lah kalian terhadap orang yang mengajari kalian”.
Sungguh mulia akhlak ‘ulama dulu, sehingga menjadi ulama besar, berkat keberkahan akhlak mulia terhadap para gurunya.

3.  ADAB DUDUK
Begitu hati hatinya etika para murid dulu, sehingga Ibnul Jamaah berkata : “Seorang penuntut ilmu harus duduk rapi, tenang, tawadhdhu’, mata tertuju kepada guru, tidak membetangkan kaki, tidak bersandar, tidak pula bersandar dengan tangannya, tidak tertawa dengan keras, tidak duduk di tempat yang lebih tinggi  juga tidak membelakangi gurunya”.

4. TIDAK MENGERASKAN SUARA          
Demikian pula santunnya para sahabat terhadap Nabi s.a.w. tidak pernah memotong ucapan atau mengeraskan suara di hadapan Nabi s.a.w., bahkan Umar bin khaththab yang terkenal keras wataknya tak pernah meninggikan suaranya di depan Rasulullah s.a.w., bahkan di beberapa riwayat, Rasulullah s.a.w. sampai kesulitan mendengar suara  Umar jika berbicara.

5. ETIKA BERTANYA
Ketika Nabi Musa  berguru kepada Khidir, Khidhr menjawab : “Sungguh, engkau (musa) tidak akan sanggup sabar bersamaku”. (Q.S. Al Kahfi (18) : 67).
Khidhr juga memberi syarat agar sabar dan jangan suka bertanya. “Khidir berkata : “Jika engkau mengikuti maka janganlah engkau menanyakanku tentang sesuatu apapun, sampai aku menerangkannya”. (Q.S. Al Kahfi (18) :70).

6. FOCUS MENDENGARKAN            
Begitu perhatian dan hormatnya para sahabat dalam mendengarkan sabda Rasulullah s.a.w., sehingga mereka pada diam saat Rasulullah berada di tengah mereka.

7. TIDAK MENCARI KELEMAHANNYA

Rasulullah s.a.w. bersabda : “Setiap anak Adam pasti berbuat kesalahan dan yang terbaik dari mereka adalah yang suka bertaubat”. (H.R. Ahmad)
Para guru bukan Malaikat, mereka tetap mempunyai kekurangan, kelemahan dan kesalahan, maka jangan suka mencari cari kesalahannya : 
“Dan janganlah mencari cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati ?. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”. (Q.S. Al Hujurat ( 49) : 12).


8. SABAR BERSAMANYA

Allah berfirman : “Dan bersabarlah kamu bersama sama dengan orang orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan Nya…..”. (Q.S.Al Kahfi (18) : 28).
Imam Syafi berkata : “Bersabarlah terhadap kerasnya sikap seorang guru, sesungguhnya gagalnya mempelajari ilmu karena memusuhinya !”.


9.  MENDO’AKAN

Sebagai seorang murid sudah sepantasnya membalas jasa gurunya dengan selalu mendo’akannya. Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah  sangat mencintai gurunya “Sesungguhnya aku mendo’akan Abu Hanifah sebelum mendo’akan ayahku dan aku pernah mendengar Imam Abu Hanifah berkata : “Sesungguhnya aku mendo’akan Hammad (gurunya) bersama kedua orang tuaku”.          

SANGAT BEDA
Seiring perkembangan waktu dan zaman, maka nilai nilai kesantunan terhadap guru makin jauh beda dan sangat memprihatinkan, bahkan yang sangat menyedihkan sampai ada seorang murid berani dan tega membunuh guru yang seharusnya ditaati dan dihormati ?!. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Jika sudah demikian akhlak seorang murid, akankah ilmu bisa dicerap dan bermanfaat bagi sang murid ?.
Semoga Allah melindungi generasi kita dari akhlak tercela, sehingga tetap taat, menghormati, menyayangi dan mendo’akan gurunya. Amiin.  



IMAM SYAFI YANG CERDAS

Imam Syafii  lahir di bulan Rajab 150 Hijriah. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah s.a.w. pada Abdu Manaf. Syafii yatim di usia kurang dari 2 tahun. Dibesarkan dalam kondisi fakir, sehingga tidak mampu membayar guru.
Karena sang guru melihat kecerdasannya, dia dibebaskan dari biaya belajar. Hafal Al Quran di usia 7 tahun. Kemudian ke Masjidil Haram belajar dengan para ulama diantaranaya : Sofyan bin Uyainah, Muslim bin Khalid, Said bin Salim Al Qaddah, Daud bin Abdurrahman Al Attar dan yang lain.
Di Madinah sempat menuntut ilmu kepada Imam Malik.
Hal yang luar biasa di usia 15 tahun sudah diijinkan berfatwa oleh gurunya Syaikh Muslim bin Khalid. : “Berfatwalah kamu hai Aba Abdullah, Demi Allah engkau sudah layak berfatwa”.
Sofyan bin Uyainah ulama Ahli Hadist di Masjidil Haram ketika mendapat pertanyaan yang sulit menoleh kepada Syafii sambil berkata : “Coba tanyakan kepada anak itu”.
Imam Syafii suka menuntut ilmu dan memberikan pelajaran.
Ketika di Makkah, sering ke suku badui di pedalaman untuk mendalami bahasa kepada mereka.
Ketika berusia 20 tahun ke Madinah menuntut ilmu kepada Imam Malik.
Pernah ke Iraq karena mendengar bahwa Imam Abu Hanifah melahirkan banyak ulama, diantaranya Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan.   Kemudian Syafii menemui keduanya dan ulama ulama lain di Iraq.
Juga pernah melakukan perjalanan ke sekitar Persia, Yaman dan Mesir.    
Ketika ditanya tentang Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hambal berkata : “Sungguh Allah telah menganugerahkannya kepada kita, sebelum ini kita telah belajar dari orang orang yang berpendapat dengan akalnya, kita tulis kitab mereka, sehingga Asy Syafii berada di tengah tengah kita dan mendengar ucapannya, kita akan segera tahu bahwa dia adalah orang paling pandai, kami telah bergaul bersamanya selama beberapa hari, kami tidak menyaksikan pada dirinya kecuali kebaikan”.
Wafat di Mesir di bulan Rajab tahun 204 Hijriah di usia 54 tahun. Dimandikan oleh wali Mesir, Muhammad bin As Suri bin Al  Hakam.
Dimakamkan disebuah tempat yang sekarang dikenal dengan nama Turbah (tanah) Asy Syafii.