ADAB ‘ULAMA DULU DALAM BERGURU
“…..Niscaya Allah akan meninggikan orang orang
yang beriman di antaramu dan orang orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al Mujadilah
(58) : 11)
Begitu penting dan
mulianya menuntut ilmu sampai yang berilmu diangkat derajatnya oleh Allah. Demikian
tinggi penghargaan Allah terhadap yang berilmu (guru). Karena ilmu diperoleh
dari para guru, maka dalam menuntut ilmu agama memberikan tuntunan diantaranya
:
1.MENGHORMATI
Sebagai murid hendaknya
menghormati guru, apabila rasa hormat diabaikan bukan golongan kami kata Nabi.
Rasulullah s.a.w.
bersabda : “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang
lebih tua dan menyayangi yang lebih muda, serta yang tidak mengerti hak ‘ulama”.
(H.R. Ahmad. dishahihkan Al Albani)
Demikian pula yang dilakukan para
sahabat terhadap Nabi, begitu tawadhdhu’nya mereka, sampai mereka pada merunduk
khusyu’ dihadapan beliau sebagai tanda hormat sebagai murid..
“Saat kami sedang duduk duduk di
masjid, maka keluarlah Rasulullah s.a.w. kemudian duduk di hadapan kami. Maka seakan akan di atas kepala kami terdapat burung, tak satu pun dari
kami yang berbicara”. (H.R. Bukhari).
Ibnu Abbas seorang sahabat yang ‘alim
dan ahli tafsir Quran, pernah menuntun tali kendaraan Zaid bin Tsabit al
Anshari r.a. sambil berkata : “Seperti inilah kami diperintahkan untuk memperlakukan para ‘ulama kami”.
IMAM
ABU HANIFAH
Demikian pula yang
dilakukan Imam Abu Hanifah, karena rasa hormatnya terhadap gurunya, sampai Imam Abu
Hanifah berkata : “Jika berada di depan Imam Malik layaknya seorang anak di
hadapan ayahnya”.
MURID
IMAM SYAFI’I
Ar Rabi’ bin Sulaiman
murid Imam Syafii berkata : “Demi Allah aku tidak berani meminum air dalam
keadaan Imam Syafi’i melihatku karena segan kepadanya”.
IMAM
SYAFI’I
Imam Syafi’i berkata : “Dulu aku membolak balikkan kertas di depan Imam
Malik dengan lembut karena segan padanya agar
beliau tidak mendengarnya”.
ABU
‘UBAID AL QASIM BIN SALAM
Abu ‘Ubaid Al Qosim bin
Salam berkata : “Aku tidak pernah sekalipun mengetuk pintu rumah seorang
dari guruku, karena Allah berfirman : “Kalau sekiranya mereka sabar sampai kamu
keluar menemui mereka, itu lebih baik untuknya”. (Q.S. Al Hujurat (49) : 5).
2. RENDAH HATI
Diriwayatkan oleh Al Imam Baihaqi, Umar bin Khattab berkata : “ Tawadhdhu’lah
kalian terhadap orang yang mengajari kalian”.
Sungguh mulia akhlak ‘ulama dulu, sehingga
menjadi ulama besar, berkat keberkahan akhlak mulia terhadap para gurunya.
3. ADAB DUDUK
Begitu hati hatinya etika para murid dulu,
sehingga Ibnul Jama’ah berkata : “Seorang penuntut ilmu harus duduk rapi, tenang, tawadhdhu’,
mata tertuju kepada guru, tidak membetangkan kaki, tidak bersandar, tidak pula
bersandar dengan tangannya, tidak tertawa dengan keras, tidak duduk di tempat
yang lebih tinggi juga tidak membelakangi gurunya”.
4. TIDAK MENGERASKAN SUARA
Demikian
pula santunnya para sahabat terhadap Nabi s.a.w. tidak pernah memotong
ucapan atau mengeraskan suara di hadapan Nabi s.a.w., bahkan Umar
bin khaththab yang terkenal keras wataknya tak pernah meninggikan suaranya di
depan Rasulullah s.a.w., bahkan di beberapa riwayat, Rasulullah s.a.w. sampai
kesulitan mendengar suara Umar
jika berbicara.
5. ETIKA BERTANYA
Ketika Nabi Musa berguru
kepada Khidir, “Khidhr menjawab : “Sungguh, engkau (musa) tidak akan sanggup
sabar bersamaku”. (Q.S. Al Kahfi (18) : 67).
Khidhr juga memberi syarat agar
sabar dan jangan suka bertanya. “Khidir berkata : “Jika engkau mengikuti maka janganlah engkau
menanyakanku tentang sesuatu apapun, sampai aku menerangkannya”. (Q.S. Al Kahfi (18) :70).
6. FOCUS MENDENGARKAN
Begitu perhatian dan hormatnya para sahabat dalam mendengarkan sabda Rasulullah
s.a.w., sehingga mereka pada diam saat Rasulullah berada di tengah mereka.
7. TIDAK
MENCARI KELEMAHANNYA
Rasulullah s.a.w. bersabda
: “Setiap anak Adam pasti berbuat kesalahan dan yang terbaik dari mereka
adalah yang suka bertaubat”. (H.R. Ahmad)
Para guru bukan Malaikat, mereka
tetap mempunyai kekurangan, kelemahan dan kesalahan, maka jangan suka mencari
cari kesalahannya :
“Dan janganlah
mencari cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.
Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati ?. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”. (Q.S. Al Hujurat
( 49) : 12).
8. SABAR BERSAMANYA
Allah berfirman
: “Dan bersabarlah kamu
bersama sama dengan orang orang yang menyeru
Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan Nya…..”. (Q.S.Al Kahfi
(18) : 28).
Imam Syafi berkata : “Bersabarlah
terhadap kerasnya sikap seorang guru, sesungguhnya gagalnya mempelajari ilmu
karena memusuhinya !”.
9. MENDO’AKAN
Sebagai seorang
murid sudah sepantasnya membalas jasa gurunya dengan selalu mendo’akannya. Abu Yusuf murid Imam Abu
Hanifah sangat mencintai gurunya “Sesungguhnya aku mendo’akan Abu
Hanifah sebelum mendo’akan ayahku dan aku pernah mendengar Imam Abu Hanifah
berkata : “Sesungguhnya aku mendo’akan Hammad (gurunya) bersama kedua orang
tuaku”.
SANGAT
BEDA
Seiring perkembangan waktu dan zaman, maka nilai nilai kesantunan
terhadap guru makin jauh beda dan sangat memprihatinkan, bahkan yang sangat
menyedihkan sampai ada seorang murid berani dan tega membunuh guru yang seharusnya
ditaati dan dihormati ?!. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Jika sudah
demikian akhlak seorang murid, akankah ilmu bisa dicerap dan bermanfaat bagi
sang murid ?.
Semoga Allah melindungi
generasi kita dari akhlak tercela, sehingga tetap taat, menghormati, menyayangi
dan mendo’akan gurunya. Amiin.
IMAM
SYAFI YANG CERDAS
Imam Syafii
lahir di bulan Rajab 150 Hijriah. Nasabnya bertemu
dengan Rasulullah s.a.w. pada Abdu Manaf.
Syafii yatim di usia kurang dari 2 tahun. Dibesarkan dalam kondisi fakir, sehingga tidak mampu membayar guru.
Karena sang guru melihat kecerdasannya, dia dibebaskan dari biaya belajar. Hafal Al
Quran di usia 7 tahun. Kemudian ke Masjidil
Haram belajar dengan para ‘ulama diantaranaya : Sofyan bin Uyainah, Muslim bin Khalid, Said bin Salim Al
Qaddah, Daud bin Abdurrahman Al Attar dan yang lain.
Di Madinah sempat
menuntut ilmu kepada Imam Malik.
Hal yang luar biasa di usia 15
tahun sudah diijinkan berfatwa oleh gurunya Syaikh Muslim bin Khalid. : “Berfatwalah kamu
hai Aba Abdullah, Demi Allah engkau sudah layak berfatwa”.
Sofyan bin Uyainah ulama Ahli
Hadist di Masjidil Haram ketika mendapat pertanyaan yang sulit menoleh kepada
Syafii sambil berkata : “Coba tanyakan kepada anak itu”.
Imam Syafii suka
menuntut ilmu dan memberikan pelajaran.
Ketika di Makkah,
sering ke suku badui di pedalaman untuk mendalami bahasa kepada mereka.
Ketika berusia 20 tahun ke Madinah menuntut ilmu kepada Imam Malik.
Pernah ke Iraq karena mendengar bahwa Imam Abu Hanifah melahirkan banyak ‘ulama, diantaranya Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan. Kemudian Syafii menemui
keduanya dan ‘ulama ulama lain di Iraq.
Juga
pernah melakukan perjalanan ke sekitar Persia, Yaman dan Mesir.
Ketika ditanya
tentang Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hambal berkata : “Sungguh Allah telah menganugerahkannya kepada kita, sebelum ini
kita telah belajar dari orang orang yang berpendapat dengan
akalnya, kita tulis kitab mereka, sehingga Asy Syafii berada di tengah tengah kita dan mendengar ucapannya, kita akan segera tahu bahwa
dia adalah orang paling pandai, kami telah bergaul bersamanya selama beberapa
hari, kami tidak menyaksikan pada dirinya kecuali kebaikan”.
Wafat di
Mesir di bulan Rajab tahun 204 Hijriah di usia 54 tahun. Dimandikan oleh wali Mesir, Muhammad
bin As Suri bin Al Hakam.
Dimakamkan
disebuah tempat yang sekarang dikenal dengan nama Turbah (tanah) Asy Syafii.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar