Senin, 05 November 2018



ADAB ‘ULAMA DULU DALAM BERGURU

           “…..Niscaya Allah akan meninggikan orang orang yang beriman di antaramu dan orang orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al Mujadilah (58) : 11)

Begitu penting dan mulianya menuntut ilmu sampai yang berilmu diangkat derajatnya oleh Allah. Demikian tinggi penghargaan Allah terhadap yang berilmu (guru). Karena ilmu diperoleh dari para guru, maka dalam menuntut ilmu agama memberikan tuntunan diantaranya :   


1.MENGHORMATI

Sebagai murid hendaknya menghormati guru, apabila rasa hormat diabaikan bukan golongan kami kata Nabi.
Rasulullah s.a.w. bersabda : “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda, serta yang tidak mengerti hak ‘ulama”.  (H.R. Ahmad. dishahihkan Al Albani)
Demikian pula yang dilakukan para sahabat terhadap Nabi, begitu tawadhdhu’nya mereka, sampai mereka pada merunduk khusyu’ dihadapan beliau sebagai tanda hormat sebagai murid..
“Saat kami sedang duduk duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah s.a.w. kemudian duduk di hadapan kami. Maka seakan akan di atas kepala kami terdapat burung, tak satu pun dari kami yang berbicara”. (H.R. Bukhari).
Ibnu Abbas seorang sahabat yang ‘alim dan ahli tafsir Quran, pernah menuntun tali kendaraan Zaid bin Tsabit al Anshari  r.a. sambil berkata : Seperti inilah kami diperintahkan untuk memperlakukan para ‘ulama kami”.

IMAM ABU HANIFAH
Demikian pula yang dilakukan Imam Abu Hanifah, karena rasa hormatnya terhadap gurunya, sampai Imam Abu Hanifah berkata : “Jika berada di depan Imam Malik layaknya seorang anak di hadapan ayahnya”.

MURID IMAM SYAFI’I
Ar Rabi’ bin Sulaiman murid Imam Syafii berkata : “Demi Allah aku tidak berani meminum air dalam keadaan Imam Syafi’i melihatku karena segan kepadanya”.

IMAM SYAFI’I
Imam Syafi’i berkata : “Dulu aku membolak balikkan kertas  di depan  Imam Malik dengan lembut karena segan padanya agar beliau tidak mendengarnya”.

ABU ‘UBAID AL QASIM BIN SALAM
Abu ‘Ubaid Al Qosim bin Salam berkata : “Aku tidak pernah sekalipun mengetuk pintu rumah seorang dari guruku, karena Allah berfirman : Kalau sekiranya mereka sabar sampai kamu keluar menemui mereka, itu lebih baik untuknya”. (Q.S. Al Hujurat (49) : 5).

2. RENDAH HATI
Diriwayatkan oleh Al Imam Baihaqi, Umar bin Khattab berkata : “ Tawadhdhu’lah kalian terhadap orang yang mengajari kalian”.
Sungguh mulia akhlak ‘ulama dulu, sehingga menjadi ulama besar, berkat keberkahan akhlak mulia terhadap para gurunya.

3.  ADAB DUDUK
Begitu hati hatinya etika para murid dulu, sehingga Ibnul Jamaah berkata : “Seorang penuntut ilmu harus duduk rapi, tenang, tawadhdhu’, mata tertuju kepada guru, tidak membetangkan kaki, tidak bersandar, tidak pula bersandar dengan tangannya, tidak tertawa dengan keras, tidak duduk di tempat yang lebih tinggi  juga tidak membelakangi gurunya”.

4. TIDAK MENGERASKAN SUARA          
Demikian pula santunnya para sahabat terhadap Nabi s.a.w. tidak pernah memotong ucapan atau mengeraskan suara di hadapan Nabi s.a.w., bahkan Umar bin khaththab yang terkenal keras wataknya tak pernah meninggikan suaranya di depan Rasulullah s.a.w., bahkan di beberapa riwayat, Rasulullah s.a.w. sampai kesulitan mendengar suara  Umar jika berbicara.

5. ETIKA BERTANYA
Ketika Nabi Musa  berguru kepada Khidir, Khidhr menjawab : “Sungguh, engkau (musa) tidak akan sanggup sabar bersamaku”. (Q.S. Al Kahfi (18) : 67).
Khidhr juga memberi syarat agar sabar dan jangan suka bertanya. “Khidir berkata : “Jika engkau mengikuti maka janganlah engkau menanyakanku tentang sesuatu apapun, sampai aku menerangkannya”. (Q.S. Al Kahfi (18) :70).

6. FOCUS MENDENGARKAN            
Begitu perhatian dan hormatnya para sahabat dalam mendengarkan sabda Rasulullah s.a.w., sehingga mereka pada diam saat Rasulullah berada di tengah mereka.

7. TIDAK MENCARI KELEMAHANNYA

Rasulullah s.a.w. bersabda : “Setiap anak Adam pasti berbuat kesalahan dan yang terbaik dari mereka adalah yang suka bertaubat”. (H.R. Ahmad)
Para guru bukan Malaikat, mereka tetap mempunyai kekurangan, kelemahan dan kesalahan, maka jangan suka mencari cari kesalahannya : 
“Dan janganlah mencari cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati ?. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”. (Q.S. Al Hujurat ( 49) : 12).


8. SABAR BERSAMANYA

Allah berfirman : “Dan bersabarlah kamu bersama sama dengan orang orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan Nya…..”. (Q.S.Al Kahfi (18) : 28).
Imam Syafi berkata : “Bersabarlah terhadap kerasnya sikap seorang guru, sesungguhnya gagalnya mempelajari ilmu karena memusuhinya !”.


9.  MENDO’AKAN

Sebagai seorang murid sudah sepantasnya membalas jasa gurunya dengan selalu mendo’akannya. Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah  sangat mencintai gurunya “Sesungguhnya aku mendo’akan Abu Hanifah sebelum mendo’akan ayahku dan aku pernah mendengar Imam Abu Hanifah berkata : “Sesungguhnya aku mendo’akan Hammad (gurunya) bersama kedua orang tuaku”.          

SANGAT BEDA
Seiring perkembangan waktu dan zaman, maka nilai nilai kesantunan terhadap guru makin jauh beda dan sangat memprihatinkan, bahkan yang sangat menyedihkan sampai ada seorang murid berani dan tega membunuh guru yang seharusnya ditaati dan dihormati ?!. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Jika sudah demikian akhlak seorang murid, akankah ilmu bisa dicerap dan bermanfaat bagi sang murid ?.
Semoga Allah melindungi generasi kita dari akhlak tercela, sehingga tetap taat, menghormati, menyayangi dan mendo’akan gurunya. Amiin.  



IMAM SYAFI YANG CERDAS

Imam Syafii  lahir di bulan Rajab 150 Hijriah. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah s.a.w. pada Abdu Manaf. Syafii yatim di usia kurang dari 2 tahun. Dibesarkan dalam kondisi fakir, sehingga tidak mampu membayar guru.
Karena sang guru melihat kecerdasannya, dia dibebaskan dari biaya belajar. Hafal Al Quran di usia 7 tahun. Kemudian ke Masjidil Haram belajar dengan para ulama diantaranaya : Sofyan bin Uyainah, Muslim bin Khalid, Said bin Salim Al Qaddah, Daud bin Abdurrahman Al Attar dan yang lain.
Di Madinah sempat menuntut ilmu kepada Imam Malik.
Hal yang luar biasa di usia 15 tahun sudah diijinkan berfatwa oleh gurunya Syaikh Muslim bin Khalid. : “Berfatwalah kamu hai Aba Abdullah, Demi Allah engkau sudah layak berfatwa”.
Sofyan bin Uyainah ulama Ahli Hadist di Masjidil Haram ketika mendapat pertanyaan yang sulit menoleh kepada Syafii sambil berkata : “Coba tanyakan kepada anak itu”.
Imam Syafii suka menuntut ilmu dan memberikan pelajaran.
Ketika di Makkah, sering ke suku badui di pedalaman untuk mendalami bahasa kepada mereka.
Ketika berusia 20 tahun ke Madinah menuntut ilmu kepada Imam Malik.
Pernah ke Iraq karena mendengar bahwa Imam Abu Hanifah melahirkan banyak ulama, diantaranya Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan.   Kemudian Syafii menemui keduanya dan ulama ulama lain di Iraq.
Juga pernah melakukan perjalanan ke sekitar Persia, Yaman dan Mesir.    
Ketika ditanya tentang Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hambal berkata : “Sungguh Allah telah menganugerahkannya kepada kita, sebelum ini kita telah belajar dari orang orang yang berpendapat dengan akalnya, kita tulis kitab mereka, sehingga Asy Syafii berada di tengah tengah kita dan mendengar ucapannya, kita akan segera tahu bahwa dia adalah orang paling pandai, kami telah bergaul bersamanya selama beberapa hari, kami tidak menyaksikan pada dirinya kecuali kebaikan”.
Wafat di Mesir di bulan Rajab tahun 204 Hijriah di usia 54 tahun. Dimandikan oleh wali Mesir, Muhammad bin As Suri bin Al  Hakam.
Dimakamkan disebuah tempat yang sekarang dikenal dengan nama Turbah (tanah) Asy Syafii.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar