Minggu, 15 April 2018



BETAPA MULIA SIKAP PEMAAF

(Yaitu) orang orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit dan orang orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang orang yang berbuat kebajikan. (Q.S. Ali Imran (3) : 134)

Buya Hamka adalah salah seorang ulama Indonesia yang mendapat gelar Doktor Honouris Causa dari Universitas Al Azhar Mesir, karena kiprah dakwahnya dalam membina umat.

KHARAM MERAYAKAN NATAL BERSAMA
Beliau dikenal sebagai sosok ulama yang kokoh dan tegas pendiriannya, namun sangat santun akhlaknya. Diantara fatwa beliau ketika menjabat sebagai Ketua MUI (majelis ‘ulama Indonesia) adalah : “Haram bagi umat untuk Islam mengikuti perayaan Natal bersama”.

MENOLAK UNDANGAN PAUS
Ketegasan pendirian beliau ditunjukkan ketika menolak undangan bertemu Paus (pemimpin Katholik dunia) ketika berkunjung ke Istana Negara di masa Presiden Soeharto. Dengan tegas Buya Hamka menyatakan  penolakannya bertemu Paus : “Bagaimana saya bisa bersilaturrahim dengan beliau, sedangkan umat Islam dengan berbagai cara, bujukan dan rayuan, uang, beras, dimurtadkan atas perintahnya ?”.
Demikian tegas Buya Hamka dalam hal akidah, tetapi dalam pergaulan beliau sangat santun dan lemah lembut, sikapnya mencerminkan keluhuran pribadinya, sosok pemaaf tidak pendendam.

WALAU TEGAS TETAPI PEMAAF
Irfan putra ke lima buya Hamka, merilis buku berjudul “Ayah” yang menggambarkan pribadi beliau. Dalam buku diceritakan Buya Hamka ketika  menghadapi 3 orang orang yang pernah memfitnah, membenci dan memusuhi, karena berseberangan ideologi

3 TOKOH BERSEBRANGAN
Ketiga tokoh tersebut adalah Soekarno (Presiden Pertama RI), Mohammad Yamin (tokoh perumus lambang dan dasar negara) dan Pramoedya Ananta Toer budayawan Lekra / Lembaga Kebudayaan Rakyat, organisasi seni budaya yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia(P.K.I.).          
Walau ketiganya membenci dan memusuhinya, namun di akhir hidupnya mereka justru menghormat dan menghargai pribadi Buya Hamka.

DITUDUH MERENCANAKAN PEMBUNUHAN
Soekarno ketika menjabat Presiden RI memaksakan ideologi Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), menahan Buya Hamka selama 2 tahun 4 bulan dengan tuduhan merencanakan pembunuhan Presiden Soekarno. Pada 28 Agustus 1964 beliau ditangkap dan dijerat dengan tuduhan melanggar Undang Undang Anti Subversif Pempres No.11. Beliau ditahan tanpa proses persidangan, tanpa diberi hak melakukan pembelaaan. Buku karyanya bahkan dilarang beredar.

DIMINTA MENYOLATI
Setelah bebas dari penjara dan Buya Hamka sudah beraktivitas kembali, sementara kekuasaan Soekarno sudah menurun. Peristiwa mengharukan terjadi, Soekarno yang mulai hidup terasing dan sakit sakitan, di akhir hayatnya berpesan lewat ajudan Presiden Soeharto Mayjen Soeryo pada 16 Juni 1970 : “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka menjadi imam shalat jenazahku”.

MENYOLATI JENAZAHNYA
Seiring khabar kematian Soekarno, kemudian buya Hamka ta’ziyah  ke Wisma Yaso, tempat jenazah disemayamkan. Sesuai wasiat Soekarno, kemudian Buya Hamka memimpin shalat jenazahnya, dengan ikhlas beliau  menunaikan wasiatnya, mereka yang hadir pada terharu karena Buya Hamka tidak menaruh dendam pada Soekarno.

DIPENJARA BERBUAH HIKMAH
Dengan tulus beliau berkata : “Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya, dendam itu termasuk dosa. Selama 2 tahun 4 bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al Qur’an 30 juz. Bila bukan dalam tahanan tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu”.

M. YAMIN
Mohammad Yamin, salah seorang tokoh kebangsaan, termasuk perumus dasar dan lambang negara. Meski berasal dari Sumatera Barat, namun Yamin produk pendidikan sekuler juga anggota Gerakan Theosofi, sebuah organisasi kebatinan yang mengedepankan sekularisme dan paham kebangsaan. Dia sangat membenci Buya Hamka karena perbedaan ideologi. Aktif di Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Buya Hamka di Partai Masyumi.       
Kebencian Yamin tersulut, ketika dalam Sidang Majelis Konstituante, dengan lantang Buya Hamka berpidato : “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka !”. Pidato tersebut menyulut kebencian Mohammad Yamin. Dia menyuarakan kebenciannya kepada Hamka dalam berbagai kesempatan, “Rupanya bukan saja wajahnya yang memperlihatkan kebencian kepada saya, hati nuraninya pun ikut membeci saya”, kata Buya Hamka.

SAKIT
Tahun 1962 Mohammad Yamin sakit dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Buya Hamka memantau perkembangan lewat radio dan media cetak. Hingga suatu hari Chaerul Saleh, menteri di kabinet Soeharto menelpon menyampaikan khabar kesehatan Mohammad Yamin. Chaerul Saleh berkata kepada buya Hamka : “Buya saya membawa pesan Pak Yamin, beliau sakit parah. Sudah berhari hari dirawat. Saya sengaja menemui Buya untuk menyampaikan pesan dari Pak Yamin, mungkin merupakan pesan terakhir beliau”, ujarnya.

PESAN AKHIR
Buya Hamka bertanya : “Apa pesannya ?”, Sang menteri berkata : ”Pak Yamin berpesan agar saya menjemput Buya, Beliau ingin menjelang ajalnya buya dapat mendampinginya, saat ini pak Yamin dalam keadaan sekarat. Beliau mengharapkan sekali Buya bisa menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya”. Kepada Buya Hamka Menteri Chaerul Saleh juga berkata : Yamin khawatir masyarakat Talawi, Sumatera Barat tempat asalnya tidak berkenan menerima jenazahnya.

MENJENGUK
Saat itu juga Buya Hamka minta diantar ke RSPAD, melihat kedatangan Hamka, Yamin yang tergolek lemah melambaikan tangan. Hamka mendekat kemudian menjabat tangannya. Yamin memegang erat tokoh yang dulu pernah dimusuhinya. Sementara Hamka terus membisikan ke telinga Yamin kalimat tauhid : “Laa ilaaha illallah”. Dengan suara lirih, Yamin mengikuti tak berapa lama kemudian Mohammad Yamin wafat disamping sosok yang dulu menjadi seterunya. Di akhir hayat tangan keduanya berpegangan erat, seolah ingin menghapuskan segala sengketa yang pernah ada. Orang yang hadir ketika itu larut dalam keharuan yang mendalam. Buya Hamka kemudian turut pula mengantar jenazahnya sampai ke pemakaman terakhirnya.

KISAH TAULADAN
WALAU DIMUSUHI DAN DIFITNAH TETAP MEMAAFKAN

Buya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer. Keduanya berseberangan ideologi. Pram seorang sastrawan berfaham komunis aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dekat dengan PKI. Lewat Surat Kabar Bintang Timoer, Pram aktif menyerang buya Hamka. Karya  novel Hamka dituding plagiat, pribadinya diserang. Fitnah dan penghinaan dilakukan karena Buya Hamka seorang sastrawan anti Komunis, tokoh Muhammadiyah dan Masyumi.
Suatu ketika Astuti putri Pramoedya mengutarakan keinginannya menikah. Dia sudah menentukan calon pendamping bernama Daniel Setiawan. Namun ada satu ganjalan di hatinya, sang calon menantu berasal dari peranakan etnis Cina  “Saya tidak rela anak saya kawin dengan orang yang secara kultur dan agama berbeda”, ujar Pram, sebagaimana disampaikan kepada Dr. Hoedaifah Koeddah, dokter yang mengobati dan dekat dengan keluarganya.
Pram kemudian meminta putri dan calon menantunya menemui Buya Hamka, ulama yang menjadi seterunya. Dia meminta calon menantunya untuk belajar Islam kepada beliau : “Saya lebih mantap mengirimkan calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik”, kata Pram menjelaskan.
Bersama Astuti, sang calon menantu Pram kemudian mendatangi Buya Hamka. Dia menceritakan maksud kedatangan, agar Buya bersedia mengajar kekasihnya agama Islam. Kemudian Astuti memperkenalkan diri sebagai anak dari Pramoedya Ananta Toer. Buya Hamka tertegun, kemudian beliau dengan ikhlas membimbing dua sejoli untuk belajar agama Islam. Tak lupa pula beliau menitipkan salam untuk ayahnya. Astuti putri Pramoedya tak menyangka, sosok yang dulu begitu dibenci ayahnya, ternyata sosok yang bersahaja, lemah lembut  dan lapang dada. Astuti berterimakasih bisa diterima untuk menimba ilmu agama pada buya Hamka.
Begitu mulia sosok Buya Hamka, ulama yang tegas dan bersahaja. Pribadi yang tak pernah menyimpan dendam dalam hatinya, meski musuh begitu membencinya sudah tak berdaya. Beliau tetap berjiwa besar, lapang dada, menganggap segala kebencian bisa sirna dengan sikap saling memaafkan dan menebarkan cinta dan kasih sayang .  
Begitu luhur sosok Buya Hamka, karena sikap dendam dijauhinya sikap pemaaf selalu menghiasinya, sehingga beliau selalu nampak sehat wal afiat, karena jiwanya jauh dari sikap dendam yang membahayakan, Subhaanallaah.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar