BETAPA MULIA SIKAP PEMAAF
“(Yaitu) orang
orang
yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit dan orang
orang
yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang
orang
yang berbuat kebajikan”. (Q.S.
Ali Imran (3) : 134)
Buya Hamka adalah salah seorang
ulama Indonesia yang mendapat gelar Doktor Honouris
Causa dari Universitas Al Azhar Mesir, karena kiprah dakwahnya
dalam membina umat.
KHARAM
MERAYAKAN NATAL BERSAMA
Beliau dikenal sebagai sosok ulama yang kokoh dan tegas
pendiriannya, namun sangat santun akhlaknya. Diantara fatwa beliau ketika menjabat sebagai Ketua MUI (majelis
‘ulama Indonesia) adalah : “Haram bagi umat
untuk Islam mengikuti perayaan Natal bersama”.
MENOLAK
UNDANGAN PAUS
Ketegasan pendirian beliau ditunjukkan
ketika menolak undangan bertemu Paus (pemimpin
Katholik dunia) ketika berkunjung ke Istana Negara
di masa Presiden Soeharto. Dengan tegas Buya Hamka menyatakan penolakannya bertemu
Paus : “Bagaimana
saya bisa bersilaturrahim
dengan beliau, sedangkan umat Islam dengan berbagai cara, bujukan dan rayuan,
uang, beras, dimurtadkan atas perintahnya ?”.
Demikian tegas
Buya Hamka dalam hal akidah,
tetapi dalam pergaulan beliau sangat santun dan lemah lembut, sikapnya mencerminkan keluhuran pribadinya, sosok pemaaf tidak pendendam.
WALAU
TEGAS TETAPI PEMAAF
Irfan putra ke lima buya Hamka, merilis buku berjudul “Ayah” yang menggambarkan pribadi beliau. Dalam buku diceritakan
Buya Hamka ketika menghadapi 3 orang orang yang pernah memfitnah, membenci dan memusuhi, karena berseberangan
ideologi
3 TOKOH
BERSEBRANGAN
Ketiga tokoh tersebut adalah
Soekarno (Presiden Pertama RI), Mohammad Yamin (tokoh perumus lambang dan dasar
negara) dan Pramoedya Ananta Toer budayawan Lekra / Lembaga Kebudayaan Rakyat,
organisasi seni budaya yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia(P.K.I.).
Walau ketiganya membenci dan memusuhinya, namun di akhir hidupnya mereka justru
menghormat dan menghargai pribadi Buya Hamka.
DITUDUH
MERENCANAKAN PEMBUNUHAN
Soekarno ketika
menjabat Presiden RI memaksakan ideologi Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis),
menahan Buya Hamka selama 2 tahun 4 bulan
dengan tuduhan merencanakan pembunuhan Presiden Soekarno. Pada 28 Agustus 1964 beliau ditangkap dan dijerat dengan tuduhan melanggar Undang Undang Anti Subversif Pempres No.11. Beliau ditahan tanpa proses persidangan, tanpa
diberi hak melakukan pembelaaan. Buku karyanya bahkan dilarang beredar.
DIMINTA
MENYOLATI
Setelah bebas dari penjara dan Buya
Hamka sudah beraktivitas kembali, sementara kekuasaan Soekarno sudah menurun. Peristiwa
mengharukan terjadi, Soekarno yang mulai hidup terasing dan sakit sakitan, di
akhir hayatnya berpesan lewat ajudan Presiden Soeharto Mayjen Soeryo pada 16
Juni 1970 : “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka menjadi imam shalat
jenazahku”.
MENYOLATI
JENAZAHNYA
Seiring khabar kematian Soekarno,
kemudian buya Hamka ta’ziyah ke Wisma
Yaso, tempat jenazah disemayamkan. Sesuai wasiat Soekarno, kemudian Buya Hamka
memimpin shalat jenazahnya, dengan ikhlas beliau menunaikan wasiatnya, mereka yang hadir pada terharu
karena Buya Hamka tidak menaruh dendam pada Soekarno.
DIPENJARA
BERBUAH HIKMAH
Dengan tulus beliau berkata : “Saya tidak pernah dendam kepada orang yang
pernah menyakiti saya, dendam itu termasuk dosa. Selama 2 tahun 4 bulan saya ditahan,
saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada
saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al Qur’an 30 juz. Bila
bukan dalam tahanan tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan
itu”.
M.
YAMIN
Mohammad
Yamin, salah seorang tokoh kebangsaan, termasuk perumus dasar dan lambang
negara. Meski berasal dari Sumatera Barat, namun Yamin produk pendidikan sekuler juga anggota Gerakan Theosofi, sebuah organisasi kebatinan
yang mengedepankan sekularisme dan paham kebangsaan. Dia sangat membenci Buya Hamka karena perbedaan ideologi. Aktif di Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Buya Hamka di Partai
Masyumi.
Kebencian
Yamin tersulut, ketika dalam Sidang Majelis Konstituante, dengan lantang Buya
Hamka berpidato : “Bila negara kita ini mengambil dasar negara
berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka !”. Pidato tersebut menyulut
kebencian Mohammad Yamin. Dia menyuarakan kebenciannya kepada Hamka dalam
berbagai kesempatan, “Rupanya bukan saja wajahnya yang memperlihatkan kebencian
kepada saya, hati nuraninya pun ikut membeci saya”, kata Buya Hamka.
SAKIT
Tahun
1962 Mohammad Yamin sakit dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Buya
Hamka memantau perkembangan lewat radio dan media cetak. Hingga suatu hari
Chaerul Saleh, menteri di kabinet Soeharto menelpon menyampaikan khabar kesehatan Mohammad Yamin. Chaerul Saleh berkata kepada buya Hamka : “Buya saya membawa pesan Pak Yamin,
beliau sakit parah. Sudah berhari hari dirawat. Saya sengaja menemui Buya untuk menyampaikan pesan
dari Pak Yamin, mungkin merupakan pesan terakhir beliau”, ujarnya.
PESAN
AKHIR
Buya Hamka
bertanya : “Apa pesannya ?”, Sang
menteri berkata : ”Pak Yamin
berpesan agar saya menjemput Buya, Beliau ingin menjelang ajalnya buya dapat mendampinginya, saat ini pak Yamin dalam keadaan
sekarat. Beliau mengharapkan sekali Buya bisa menemaninya sampai ke dekat
liang lahatnya”. Kepada Buya Hamka Menteri Chaerul
Saleh juga berkata : “Yamin khawatir masyarakat Talawi,
Sumatera Barat tempat asalnya tidak berkenan
menerima jenazahnya”.
MENJENGUK
Saat itu juga Buya
Hamka minta diantar ke RSPAD, melihat kedatangan Hamka, Yamin yang tergolek
lemah melambaikan tangan. Hamka mendekat kemudian menjabat tangannya. Yamin
memegang erat tokoh yang dulu pernah dimusuhinya. Sementara Hamka terus
membisikan ke telinga Yamin kalimat tauhid : “Laa ilaaha illallah”. Dengan suara
lirih, Yamin mengikuti tak berapa lama kemudian Mohammad Yamin wafat disamping
sosok yang dulu menjadi seterunya. Di akhir hayat tangan keduanya berpegangan
erat, seolah ingin menghapuskan segala sengketa yang pernah ada. Orang yang
hadir ketika itu larut dalam keharuan yang mendalam. Buya Hamka kemudian turut
pula mengantar jenazahnya sampai ke pemakaman terakhirnya.
KISAH TAULADAN
WALAU DIMUSUHI DAN DIFITNAH TETAP
MEMAAFKAN
Buya
Hamka dan Pramoedya Ananta Toer. Keduanya berseberangan ideologi. Pram seorang sastrawan berfaham komunis aktif di
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dekat dengan PKI. Lewat Surat Kabar
Bintang Timoer, Pram aktif menyerang buya Hamka. Karya novel Hamka dituding plagiat, pribadinya
diserang. Fitnah dan penghinaan dilakukan karena Buya Hamka
seorang sastrawan anti Komunis, tokoh Muhammadiyah dan Masyumi.
Suatu
ketika Astuti putri Pramoedya mengutarakan keinginannya menikah. Dia sudah menentukan calon pendamping bernama Daniel Setiawan.
Namun ada satu ganjalan di hatinya, sang calon menantu berasal dari peranakan
etnis Cina “Saya tidak rela anak saya
kawin dengan orang yang secara kultur dan agama berbeda”, ujar Pram,
sebagaimana disampaikan kepada Dr. Hoedaifah Koeddah, dokter yang mengobati dan
dekat dengan keluarganya.
Pram
kemudian meminta putri dan calon menantunya menemui Buya Hamka, ulama yang
menjadi seterunya. Dia meminta calon menantunya untuk belajar Islam kepada beliau
: “Saya lebih mantap mengirimkan calon menantuku untuk diislamkan dan
belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik”, kata Pram
menjelaskan.
Bersama Astuti, sang calon menantu
Pram kemudian mendatangi Buya Hamka. Dia menceritakan
maksud kedatangan, agar Buya bersedia mengajar kekasihnya agama Islam. Kemudian Astuti memperkenalkan
diri sebagai anak dari Pramoedya Ananta Toer. Buya Hamka tertegun, kemudian beliau dengan ikhlas membimbing dua sejoli untuk
belajar agama Islam. Tak lupa pula beliau menitipkan salam untuk ayahnya.
Astuti putri Pramoedya tak menyangka, sosok yang dulu begitu dibenci ayahnya,
ternyata sosok yang bersahaja, lemah lembut dan lapang dada. Astuti berterimakasih bisa diterima untuk menimba ilmu agama pada buya Hamka.
Begitu mulia sosok Buya Hamka, ulama yang tegas dan bersahaja. Pribadi yang tak pernah menyimpan dendam dalam
hatinya, meski musuh begitu membencinya sudah tak berdaya. Beliau tetap berjiwa besar, lapang dada, menganggap segala kebencian bisa
sirna dengan sikap saling memaafkan
dan menebarkan cinta dan kasih sayang .
Begitu luhur sosok Buya
Hamka, karena sikap dendam dijauhinya sikap pemaaf selalu menghiasinya,
sehingga beliau selalu nampak sehat wal afiat, karena jiwanya jauh dari sikap
dendam yang membahayakan, Subhaanallaah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar