ABDURRAHMAN BIN ‘AUF
PIAWAI BERDAGANG JUGA DERMAWAN
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum nyata bagi Allah orang orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang orang yang sabar”. (Q.S. Ali Imran (3) : 142)
Di masa jahiliah bernama Abdu
Amr, berasal dari Bani Zuhrah, saudara sepupu Sa’ad bin Abi Waqqas, memiliki
hubungan kerabat dengan Usman bin Affan. Setelah memeluk Islam namanya
diganti Rasulullah s.a.w. menjadi Abdurrahman
bin Auf.
Memeluk lslam di awal
misi kerasulan, sebelum Rasulullah s.a.w. melakukan pembinaan di rumah Arqam
bin Abil Arqam. Keislamannya kira kira dua hari setelah Abu Bakar. Nabi s.a.w.. memasukkan ke dalam golongan 10 orang ahli
syurga.
Ikut
hijrah ke ke Habsyi (Ethiopia), kemudian kembali ke Mekah dan berangkat kembali
ke Habsyi untuk kedua kalinya. Saat turun perintah hijrah ke Madinah, berada di
kelompok Muhajirin. Sesampai di Madinah Rasulullah mempersaudarakan dengan
Sa’ad bin Rabi’ orang Madinah yang kaya dan dermawan.
DITAWARI
Saking cinta dan sayangnya dalam persaudaraan Islam, sampai Sa’ad bin
Rabi’ sempat menawari Abdurrahman
bin ‘Auf : “Aku punya banyak harta dan dua orang
istri. Ambillah separo hartaku, pilih salah satu istriku yang menurutmu paling cantik, aku akan menceraikannya agar kau dapat memperistrinya !”.
DITOLAK
Namun anehnya tawaran ini tidak diterima sebagai aji mumpung, justru karena
kebesaran jiwanya yang suka bekerja dan berusaha keras, justru dijawab Abdurrahman bin ‘auf dengan
santun : ‘”Tidak terima kasih, tolong
tunjukkan saja kepadaku di mana letak pasar di sini !”.
TEKUN BERDAGANG
Jawaban tidak aneh karena Abdurrahman memang seorang pengusaha, dibidang perdagangan. Sejak saat itu dia memulai
kegiatannya berdagang di pasar Madinah sehingga
menjadi pedagang sukses. Kafilah kafilahnya
penuh barang barang berupa gandum, tepung, minyak, pakaian, barang barang pecah belah, wangi wangian dan segala kebutuhan penduduk. Perdaganannya hingga menjangkau sampai Mesir dan Syria.
AKAN MENIKAH
Suatu saat dia datang ke Rasulullah memakai parfum. Rasulullah menyambutnya seraya
berkata : “Alangkah wanginya kamu Abdurrahman”.
“Saya
hendak menikah wahai Rasulullah”.
“Apa
mahar yang akan kau berikan kepada istrimu ?”, tanya Rasulullah.
“Emas seberat biji kurma”.
“Adakan walimah, walau hanya menyembelih seekor kambing, semoga Allah memberkati pernikahanmu
dan hartamu”.
AKTIF SHODAQAH
Meski keuntungannya begitu besar berkat kepiawaiannya
berdagang, dia tidak pernah lupa membelanjakan sebagian hartanya di jalan
Allah. Selain untuk membiayai sanak saudaranya, juga untuk menyediakan
perlengkapan yang diperlukan tentara lslam untuk berjihad fi sabilillah.
MENYAMBUT SERUAN RASULULLAH
Suatu hari Rasulullah s.a.w. berpidato membangkitkan semangat jihad dan pengorbanan
kaum muslimin. Beliau bersabda : “Bersedekahlah kalian, karena saya akan mengirim pasukan
ke medan perang”.
Mendengar seruan Rasulullah s.a.w. Abdurrahman bin Auf bergegas pulang dan
kembali ke hadapan Rasulullah : “Ya
Rasulullah saya mempunyai uang 4.000. Yang 2.000. saya pinjamkan kepada
Allah, sisanya saya tinggalkan untuk keluarga saya”. Kemudian Rasulullah s.a.w. mendo’akan
agar diberi keberkahan oleh Allah s.w.t.
PENYANDANG DANA
Ketika Rasulullah s.a.w. membutuhkan dana untuk menghadapi tentara Romawi dalam
perang Tabuk, Abdurrahman bin Auf menjadi salah satu pelopor dalam
menyumbangkan hartanya.
Saat itu jumlah dana dan tentara yang
dibutuhkan sangat besar, karena jumlah tentara musuh sangat besar, di samping
itu Madinah sedang mengalami musim panas pula.
Perjalanan ke Tabuk yang jauh merupakan perjalanan sangat berat dan sulit.
Sementara dana yang tersedia hanya sedikit. Begitu pula jumlah kendaraan tidak
memadai sampai sampai banyak di antara kaum muslimin yang kecewa dan sedih
karena ditolak Rasulullah s.a.w.
SEDIH LANTARAN TAK PUNYA BEKAL
Mereka
tidak diizinkan menjadi tentara yang akan turut berperang, karena kendaraan tidak mencukupi. Mereka yang ditolak merasa sedih karena mereka tidak mempunyai apa apa untuk
disumbangkan.
PASUKAN SUSAH
Mereka yang tidak diterima itu
terkenal dengan sebutan : “orang orang yang menangis”, sementara pasukan yang berangkat terkenal dengan sebutan : “Jaisyul ‘Usrah (pasukan susah)”.
SERENTAK MENYAMBUT SERUAN RASULULLAH
Menghadapi situasi sulit ini, Rasulullah s.a.w. mengimbau kaum muslimin yang berkecukupan agar mengorbankan
harta bendanya untuk jihad fi sabilillah. Dengan serentak kemudian kaum muslimin memenuhi seruan tersebut.
SALING BERLOMBA
Kemudian Abdurrahman bin Auf dengan spontan mempelopori dengan menyerahkan 200 uqiyah emas. Melihat hal
itu Umar bin Khattab berbisik kepada Rasulullah s.a.w. “Agaknya Abdurrahman
khilaf, wahai Rasulullah lihat saja, dia tidak meninggalkan uang belanja
sedikit pun untuk keluarganya”.
Maka
Rasulullah pun bertanya kepada Abdurrahman : “Adakah engkau tinggalkan uang
belanja untuk keluargamu ?”. “Ada ya Rasulullah, mereka saya tinggali lebih banyak dan lebih baik daripada yang
saya sumbangkan”, jawab Abdurrahman. ”Berapa ?”, tanya Rasulullah, “Sebanyak rizki, kebaikan dan upah yang dijanjikan Allah”, kata Abdurrahman mantap.
RASULULLAH MENDO’AKAN
Mendengar jawaban Abdurrahman, Rasulullah
s.a.w. mendo’akan kebaikan untuknya : “Semoga Allah memberkatimu dan
hartamu”. Ketika pasukan muslimin berangkat ke Tabuk, Abdurrahman bin Auf ikut turut serta pula.
MENJADI IMAM
Dalam perang ini saat waktu shalat
sudah tiba, namun Rasulullah s.a.w. belum hadir, maka Abdurrahman ditunjuk para sahabat menjadi imam, setelah hampir selesai rakaat pertama
Rasulullah s.a.w. tiba, beliau langsung bermakmum, pengalaman di Tabuk ini merupakan pengalaman istimewa dan luar biasa bagi Abdurrahman.
PIAWAI
DAN MULIA
Demikian
mulia pribadi Abdurrahman bin ‘auf, walau piawai dalam berdagang namun tidak
bakhil, karena kecintaannya kepada sang Nabi s.a.w. sebagai utusan Allah, juga
demi tegaknya agama !.
SIFAT WARA’ IMAM ABU HANIFAH
Yazid bin
Harun berkata : “Saya belum pernah mendengar ada
seseorang yang lebih wara’ dari pada Imam Abu Hanifah. Saya pernah melihat
beliau pada suatu hari sedang duduk di bawah terik matahari di dekat pintu
rumah seseorang. Lalu saya bertanya kepadanya : “Wahai Abu Hanifah !, apa tidak
sebaiknya engkau berpindah ke tempat yang teduh ?”.
Beliau menjawab : “Pemilik rumah
ini mempunyai hutang kepadaku beberapa dirham, maka saya tidak suka duduk di
bawah naungan halaman rumahnya”.
Sikap seperti apa yang lebih wara’ daripada sikap ini ?. Di dalam riwayat lain disebutkan
bahwa beliau ditanya mengapa enggan berdiam di tempat teduh, lalu Abu Abu
Hanifah berkata kepadaku : “Pemilik rumah ini mempunyai sesuatu, maka saya
tidak suka berteduh di bawah naungan dindingnya, sehingga hal tersebut menjadi
upah suatu manfaat”.
Saya tidak berpendapat bahwa hal tersebut
wajib bagi semua orang, akan tetapi orang alim wajib menerapkan ilmu untuk
dirinya sendiri lebih banyak daripada yang dia ajarkan kepada orang lain.
Sebagaimana pula Imam Abu
Hanifah pernah meninggalkan makan daging kambing selama tujuh tahun ketika
seekor kambing milik baitul mal di Kufah hilang sehingga beliau yakin kambing
tersebut telah mati.
Sebab beliau
menanyakan berapa waktu paling lama kambing bisa bertahan hidup ?. Dikatakan kepadanya : “Tujuh tahun”.
Maka beliau meninggalkan makan daging kambing selama 7 tahun karena untuk
berhati hati lantaran ada kemungkinan kambing
haram itu masih hidup. Sehingga, bisa jadi kebetulan dia memakan sebagian dari
kambing tersebut yang berarti mendzalimi dirinya. Meskipun sebenarnya tidak berdosa karena tidak mengetahui
benda itulah yang haram.
MOHON ILMU
MANFA’AT, RIZKI DAN AMAL YANG DITERIMA
اَللَّهُمَّ
إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
Tidak ada komentar:
Posting Komentar